Pembelajaran dalam Keseharian


Saat salah satu siswa mendapat tugas dari guru matematika tentang hitungan uang yang harus dibelanjakan bernilai jutaan rupiah, ia menyela: “Mengapa harus pakai hitungan yang rumit dan membelanjakan uang itu sedemikian boros, yang saya sendiri belum pernah memegang uang sebesar itu? Apa tak sebaiknya kita pakai hitungan realistis saja seperti saat saya disuruh belanja mama saya!” Pertanyaan itu mengagetkan suasana proses pembelajaran. Maklum, pelajaran matematika termasuk ditakuti peserta didik karena berbagai pertimbangan.
Salah satunya karena pelajaran ini yang harus di unas-kan. Dialog tersebut sebenarnya bukan sesuatu yang mustahil atau rekayasa semata di kegiatan pembelajaran. Karena kondisi ini bisa jadi nyata ada di lapangan, hanya kadang kemauan untuk aktivitas berdebat dan menyanggah guru, apalagi bila guru yang bersangkutan otoriter, sikap yang ditunjukkan siswa lebih mencari aman agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Sebenarnya tawaran konsep dari Departemen Pendidikan Nasional berdasar kalender pendidikan tahun 2011/2012, ada ketentuan bahwa di sela proses belajar konvensional ada kegiatan pembelajaran berupa pengembangan diri yang berisi kegiatan dan pembelajaran yang berfungsi pemberian bekal tambahan kepada peserta didik berupa keterampilan yang berguna untuk membentuk kecakapan hidup selain materi pelajaran yang diberikan. Prosesnya tidak terbatas kecakapan vokasional, tetapi juga kecakapan sosial, intelektual, dan akademik sehingga diharapkan mampu menjawab tantangan dan kebekuan proses pendidikan yang selama ini bernuansa teks book semata. Misalnya, diharapkan peserta didik tak sekadar memahami konsep dan prinsip keilmuan semata, tetapi juga harus berbuat dan menerapkan hasil kajian teori yang telah diterima. Dalam pelajaran PKn misalnya, tidak hanya debat kusir dan adu argumen saja yang ditonjolkan. Tetapi sikap legowo dan bersikap realistis menyikapi demokrasi juga harus dilihat.
Dari formulasi tersebut, tampak bahwa program pengembangan diri merupakan hasil nyata yang disadur dari pilar pembelajaran UNESCO, yaitu learning to be (pembelajaran untuk membangun jati diri) dan learning to live together (pembelajaran untuk hidup bersama secara harmonis). Konsep pembelajaran model ini, sebenarnya sudah lama menjadi angan-angan praktisi pendidikan dengan harapan mampu membentuk perubahan pola pikir, yaitu suatu inovasi pembelajaran yang dapat membantu peserta didik memahami teori secara mendalam melalui pengalaman belajar praktik empirik. Model pembelajaran ini pun dapat menjadi program pendidikan yang mendorong kompetensi, tanggungjawab, dan partisipasi peserta didik, belajar menilai dan memengaruhi kebijakan umum, memberanikan diri untuk berperan serta dalam kegiatan antar peserta didik, antar sekolah, dan antaranggota masyarakat.
Kegagalan dari proses perkembangan pembelajaran dewasa ini, dengan gejala hilangnya nilai kejujuran, kian tipisnya rasa kemanusiaan, kurangnya jiwa wiraswasta, hilangnya pribadi mandiri, dan rendahnya disiplin diri ini menjadi kendala berkembangnya proses pembelajaran kita. Tetapi bila proses pembelajaran yang akan diberlakukan kepada peserta didik dilandasi pada fakta sosial tersebut, penulis yakin kondisi keterpurukan bangsa ini secara bertahap bisa diperbaiki, dan yang pasti tidak akan menyebabkan pembelajaran yang semula berlangsung monoton dan tak menarik akan berubah menjadi proses pembelajaran yang menyenangkan.
Dengan membawa fakta-fakta (faktualisasi proses) ke dalam proses pembelajaran di kelas untuk dibahas, apalagi fakta tersebut mengundang masalah untuk dibahas, secara langsung maupun tak langsung akan memunculkan kritik. Kondisi demikian, akan lahir nilai kritis peserta didik, dan memunculkan daya kreatif serta proses pemecahan masalah bagi peserta didik dalam kehidupan nyata bisa disikapi dengan baik. Tantangan ke depan, setelah digulirkannya faktualisasi pembelajaran ke dalam kelas, yang utama adalah munculnya inovasi-inovasi yang dilakukan guru tersebut. Suatu keniscayaan bila konsep sudah digulirkan ternyata masih kurang mendapat respons positif berbagai kalangan (kepala sekolah, sesama guru, maupun pengawas pendidikan). Sebab mereka menganggap pola ini dianggap menyimpang dari proses pembelajaran yang sudah bertahun-tahun akrab dengan model pembelajaran monoton.

Baca artikel terkait lainnya....



No comments:

Pesan Anda